Katanya, Rona bermalam di kos-kosan Cahyati. Namun, sampai saat ini aku belum menerima kabar darinya. Rasa rinduku sulit dibendung jika itu untuk Rona. Aku memilih mengirim pesan singkat kepadanya karena menahan rindu sama tidak nyamannya seperti menahan diri untuk tidak kentut. “Teteh, jadi nginap di kos-kosan Cahyati?” “Jadi, A. Kenapa?” “Enggak apa-apa, cuma ingin tahu. Oh, ya. Kalau ada apa-apa atau butuh apa-apa, hubungi Aa!” “Oke.” Aku selalu dibuat penasaran. Akhwat tomboi itu bagiku penuh pesona. Jika berkirim pesan dengannya, kadang bisa berlama-lama, tetapi sering juga jawabannya singkat-singkat. Hari ini dia akrab denganku, bisa saja renggang keesokannya. Hari ini penuh pesona dan banyak cerita, esok bisa saja diam seribu bahasa. Namun, bagiku semuanya adalah hal yang menyenangkan, jika itu milik Rona. Dia mampu mengalihkan duniaku. Apakah aku mulai menyukainya? Aku tidak tidur malam ini, merancang lima hari ke depan akan berbuat apa bersama Rona. Tidak, aku tidak akan berbuat aneh-aneh padanya, dia barang antik, harus aku jaga. Aku sangat menghormatinya. Dia istimewa. Mungkin, aku juga mulai mencintainya. Tepat pukul 02.30, aku mengiriminya pesan. “Teh, sudah siap?” “Sudah, A. Tapi, enggak berani ke tempat parkir busnya. Kata Cahyati di daerah sini agak rawan.” “Ya, sudah. Nanti dijemput. Tunggu, ya!” Aku bergegas menuju parkiran motor, ingin sekali menjemputnya. Sayup kudengar, Rizal memanggilku dari kejauhan. Dia menyampaikan bahwa Pak Sekretaris Jurusan ingin menemuiku sebelum berangkat. Ah! Aku gagal menjemput Rona. “Zal, tolong jemput bendum, ya!” pintaku padanya. Di depan pintu bus, aku melihat Rizal masih mengendarai motor, tetapi tidak kudapati Rona bersamanya. Aku memilih mendekati Rizal dengan sedikit berlari, “Zal, mana Rona?” “Ada, Rey! Di dalam. Tenang aja! Enggak ada yang lecet. Dia masih yang terbaik untukmu.” …
[Cerpen] Jembatan Suramadu Read More »